Ormas Garis Keras dan Banalitas Kejahatan

ormas garis keras

Aristoteles menyatakan bahwa sejatinya manusia adalah “hewan” yang “bermasyarakat” alias zoon politicon, dimana manusia dalam kehidupannya dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain. Sebagai makhluk sosial, manusia cenderung berkumpul dengan manusia lain yang memiliki kesamaan-kesamaan kepentingan, maksud dan tujuan. Bahkan, kebebasan untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan ekspresi atau pendapat baik secara pribadi atau berkelompok, menjadi suatu hak yang asasi, hak dasar yang harus dilindungi oleh konstitusi hampir di seluruh negara di muka bumi.

Dalam perjalanannya, kelompok manusia yang memiliki common interest ini, membentuk suatu wadah berupa perkumpulan atau organisasi untuk menampung sekaligus memfasilitasi kehendak dan kepentingan mereka. Tercatat dalam sejarah berdirinya Republik Indonesia, tumbuhnya organisasi atau perkumpulan saat itu, menjadi cikal bakal perjuangan untuk mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tanggal 20 Mei 1908, organisasi pemuda Budi Utomo yang didirikan oleh Dr. Soetomo dan digagas oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo, menjadi awal gerakan yang bertujuan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Meskipun awalnya Budi Utomo tidak bersifat politik dan hanya ditujukan untuk kaum priyayi Jawa, namun dalam perkembangan selanjutnya, Budi Utomo menjadi tonggak munculnya semangat nasionalisme dan mendorong berdirinya organisasi-organisasi kebangsaan lainnya yang semuanya bertujuan untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Disamping organisasi yang bersifat nasionalisme, sebelum berdirinya Budi Utomo, trio H. Samanhudi, A.M. Sangaji dan H.O.S. Cokroaminoto mendirikan organisasi bernafaskan Islam yaitu Syarikat Dagang Islam di tahun 1905. Perkumpulan ini dibentuk dengan maksud untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat waktu itu melalui perdagangan atau niaga. Kemudian mulai muncul gerakan-gerakan organisasi Islam yang bergerak di bidang sosial dan pendidikan seperti Muhammadiyah di Yogyakarta di tahun 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan dan Nahdatul Ulama yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari di tahun 1926 yang bertujuan membangkitkan semangat para ulama Indonesia dengan cara meningkatkan dakwah dan pendidikan dikarenakan saat itu Belanda melarang umat Islam mendirikan sekolah yang bernafaskan Islam seperti pesantren. Meskipun organisasi-organisasi yang bernafaskan keagamaan tersebut berdiri dan tumbuh di masa penjajahan, namun pergerakan dan perjuangan mereka jauh dari kata kekerasan. Mereka menyadari bahwa perjuangan dengan cara mencerdaskan masyarakat, memberikan bantuan sosial dan meningkatkan keimanan adalah lebih penting dan berguna di masa depan dibandingkan dengan berjuang secara kekerasan yang tentunya akan lebih mendatangkan penindasan dari penjajah di kala itu.

Ormas Garis Keras

Kemunculan organisasi massa (ormas) yang bergaris keras dan cenderung radikal justru muncul di kala usia kemerdekaan Republik Indonesia masih sangat muda. Conboy (2008) mencatat adalah Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, yang memiliki ide untuk mendirikan Negara Islam Indonesia. Kartosuwiryo sebenarnya tidak berlatar belakang sekolah keagamaan atau madrasah yang kurikulumnya sarat dengan ilmu agama. Namun setelah ia lulus mengenyam pendidikan, ia bergabung dengan Sarekat Islam (yang awalnya adalah Syarikat Dagang Islam) dengan satu tujuan yaitu membela kepentingan pedagang Jawa dari persaingan bisnis yang tajam dengan para pedagang Tionghoa. Di Sarekat Islam, Kartosuwiryo sempat berjuang bersama Soekarno, namun adanya perbedaan ideologi yang tajam di antara mereka, membuat keduanya memilih jalan terpisah. Soekarno lebih cenderung kepada nasionalisme, Kartosuwiryo lebih memilih arah sistem negara non sekuler. Kehadiran penjajah Jepang saat itu, rupanya memberikan angin segar kepada Kartosuwiryo. Jepang sangat anti dengan pergerakan dan pemikiran dari kaum nasionalisme. Jepang mengizinkan Kartosuwiryo mendirikan kamp pelatihan bagi milisi muda Islam di Jawa Barat seluas empat hektar. Pada perkembangan selanjutnya, pendirian antisekulerisme Kartosuwiryo semakin mengeras. Dia menolak perjanjian gencatan senjata yang ditandatangani Belanda dan Soekarno. Dia membentuk Tentara Islam Indonesia (TII) sebagai instrumen awal sebelum memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia di tahun 1949, yang juga populer disebut Darul Islam (DI). Pergerakan kelompok Darul Islam ini sempat sangat merepotkan pemerintah Republik Indonesia waktu itu. Pengaruh yang ditimbulkan dari ide pendirian negara Islam ini meluas tidak hanya di Jawa Barat tempat awal Kartosuwiryo menginisiasi gerakannya, namun juga menyebar menjadi gerakan pemberontakan DI/TII di Aceh yang dipimpin oleh Daud Beureuh, di Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar, di Jawa Tengah oleh Amir Fatah bahkan sampai Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan ikut bergabung dan membela panji DI/TII.

Menurut Conboy, kemunculan gerakan radikal dan garis keras berlatar agama tersebut, sebenarnya bukan murni dari faktor religius. Adalah ketidakpuasan secara pribadi terhadap pemerintah saat itu seperti Kahar Muzakar yang tidak dilibatkan dalam organik ketentaraan, kemudian ketidakpuasan secara politik lokal dan keterpinggiran dari konstelasi politik di masa itu. Meskipun gerakan-gerakan tersebut sudah dapat ditumpas oleh pemerintah dan para pemimpinnya dihukum mati, namun spirit gerakan radikal keagamaan tetap eksis secara diam-diam. Kemunculan paham komunisme yang mendapat tempat di era Presiden Soekarno, sedikit banyak kembali menyatukan gerakan keagamaan dengan satu common enemy yaitu menentang komunisme di Indonesia. Setelah era Orde Lama berganti dengan Orde Baru di jaman Presiden Suharto, gerakan keagamaan garis keras ini masih tetap muncul dengan agenda menentang penerapan Pancasila sebagai asas tunggal dalam politik. Kaum radikalis agama tersebut menganggap penerapan sistem demokrasi Pancasila haram hukumnya dan pemerintah di dalamnya adalah kafir taghut, pun pula masyarakat sipil yang tidak segolongan dengan mereka. Sekali lagi, menurut catatan Conboy, gerakan radikal keagamaan ini bukan murni faktor religius, namun dipicu oleh ketidakpuasan baik secara pribadi, maupun secara ekonomi dan sosial politik di saat itu.

Momentum reformasi di tahun 1998 seakan membuka kran bagi organisasi massa garis keras dan radikal untuk kembali eksis dan muncul ke permukaan. Semangat demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat, mendorong berdirinya kembali formalisasi syariah sebagai solusi kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada setidaknya 3 (tiga) kelompok kekuatan yang mendukung formalisasi syariah tersebut yaitu Salafi-Wahabi, Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir. Masing-masing kelompok ini memiliki ciri khas dalam formalisasi syariah. Salafi-Wahabi cenderung “meluruskan” tata cara ibadah formal umat Islam. Ikwanul Muslimin cenderung bergerak dengan pola kelompok-kelompok kecil atau gerakan usroh yang beranggotakan 7-10 orang dan dipimpin oleh seorang amir. Mereka hidup sebagaimana layaknya sebuah keluarga dimana sang amir ini bertanggungjawab terhadap kebutuhan anggota usrohnya. Seringkali kelompok kecil ini dinamakan tarbiyah. Sedangkan Hizbut Tahrir atau HT memiliki platform pergerakan yang lebih sistematis dan kompleks. Ada beberapa tahapan dalam pembentukan khilafah islamiah menurut HT, yang pertama adalah membentuk kepribadian Islam. Dalam tahapan ini, HT memiliki konsepsi transnasional, artinya mereka membagi wilayah di tiap-tiap negara. Dan karena sifat gerakannya yang radikal, HT sudah banyak dilarang di berbagai negara, termasuk di Indonesia baru-baru ini. Yang kedua adalah Tahap Penyadaran, yang ketiga adalah Tahap Interaksi, dimana dalam tahapan ini mereka berinteraksi dengan masyarakat melalui bantuan untuk kegiatan-kegiatan yang dapat di sponsori oleh HT. Kemudian Tahapan keempat adalah gerakan intelektualisasi. Dalam tahapan ini, HT seringkali merekrut mahasiwa dari kampus-kampus ternama sebagai aset untuk meluaskan konsepsi khilafah islamiah. Dan Tahapan Kelima atau terakhir adalah membentuk kekuasaan Imperium Islam. Mengingat semua proses dan tahapan ijtihad para pemimpin  HT bersifat sangat tertutup dan ketat, menjadikan kader-kader HT mudah sekali dijadikan radikal.

Dalam survei yang dirilis oleh Lembaga Survei Alvara Strategi Indonesia pada Januari 2017, organisasi masyarakat (ormas) Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dianggap sebagai ormas yang beraliran keras dan dinilai tidak mendukung keberlangsungan toleransi beragama di Indonesia. Hasil survei menunjukkan 22,4 persen responden menganggap FPI ormas garis keras. Sementara terhadap HTI, sebanyak 9,5 persen menganggap sebagai ormas garis keras. Sebanyak 9,5 persen responden menganggap FPI sebagai ormas brutal atau anarkis. Lalu 17 persen menganggap FPI suka demo. Sementara 9,5 persen responden menganggap HTI ormas garis keras dan 4,8 persen menganggap mereka suka demo. Responden menganggap FPI juga sebagai provokator. Mereka sering lakukan sweeping. Sementara untuk HTI, hanya 4,8 persen responden menganggap ormas tersebut merefleksikan Al Quran dalam ajarannya. Pada bagian lain, survei yang dilakukan menunjukkan ormas NU dan Muhamadiyah adalah ormas toleran. Sebanyak 17,1 persen menganggap NU sebagai ormas toleran dan 11,1 persen menganggap Muhammadiyah sebagai ormas toleran. NU dan Muhammadiyah memiliki citra tersendiri pada umat Islam Indonesia. NU dicitrakan menghargai budaya lokal, tradisionalis, ajarannya cocok untuk Indonesia dan melindungi kelompok minoritas. Sementara Muhammadiyah dicitrakan sebagai ormas modern dan moderat. Adapun FPI dan HTI dicitrakan mengusung syariat Islam dan ajarannya keras serta kaku. Survei itu terutama untuk memotret pandangan keberagaman dari umat Muslim. Survei dilakukan pada Minggu keempat bulan November hingga Minggu pertama bulan Desember 2016. Survei dilakukan dengan wawancara tatap muka terhadap 1.626 responden. Usia responden antara 17-65 tahun dengan tingkat kesalahan 2,47 persen.

Dari paparan diatas kita dapat melihat, bahwa ketidakpuasan yang sudah mendapatkan wadah melalui ormas garis keras, dan dibungkus oleh sentimen-sentimen religius buta, memicu gerakan pemaksaan kehendak atas nama agama, dan tidak jarang menebarkan benih kebencian terhadap mereka yang tidak sealiran dan segolongan.

Banalitas Kejahatan

Istilah banalitas kejahatan pertama kali dikemukakan oleh Hannah Arendt seorang reporter dari The New Yorker pada saat ia meliput sidang Adolf Eichmann di Yerusalem tahun 1961, seorang mantan tentara Nazi yang dianggap bertanggungjawab terhadap pembunuhan orang-orang Yahudi di kamp konsentrasi di Jerman. Kala itu, tugas utama Eichmann adalah mengatur transportasi jutaan orang-orang Yahudi dari seluruh Eropa ke dalam kamp-kamp konsentrasi buatan Nazi. Pada saat Arendt melihat sosok Eichmann, ia begitu kaget karena Eichmann adalah sosok yang sangat biasa dan sama sekali tidak tampak kejam. Tidak ada tanda-tanda kejahatan dalam dirinya. Ia dapat menjawab pertanyaan dengan baik dan normatif. Sebelumnya, persepsi yang dikembangkan oleh orang Israel adalah Eichmann pastinya orang yang kejam dan tidak beradab. Pikirannya pasti dipenuhi kebencian yang mendalam kepada orang Yahudi. Padahal menurut Arendt, Eichmann adalah orang yang sangat biasa, wajah dan pikiran yang seringkali amat lurus, namun mampu melakukan kejahatan brutal terhadap manusia lainnya, tanpa merasa benci, ataupun rasa bersalah. Inilah yang disebut Arendt sebagai banalitas kejahatan, yaitu situasi dimana kejahatan tidak dirasa lagi sebagai kejahatan, tetapi sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja, sesuatu yang wajar, bahkan memang sesuatu yang seharusnya terjadi begitu saja.

Eichmann adalah perwira militer yang patuh. Sikap kepatuhan dalam militer adalah suatu keutamaan, bukan kejahatan. Ia tidak akan pernah berkhianat atau membunuh orang lain demi memuaskan kepentingan pribadinya. Bahkan menurut Arendt sebagai seorang perwira militer, Eichmann sama sekali tidak sadar tentang akibat dari tindakan patuhnya tersebut. Banyak orang menganggap bahwa pelaku kejahatan brutal adalah penjelmaan setan. Wajahnya pasti sangar. Matanya kejam. Badannya besar. Namun faktanya tidaklah seperti itu. Sebaliknya Eichmann adalah orang biasa, cerdas, dan patuh. Tidak ada niat jahat ataupun kejam di dalam dirinya. Bahkan ketika ia diinterogasi oleh dua orang polisi, ia berkata, bahwa penyesalannya terbesarnya adalah tidak dipromosikan ke pangkat yang lebih tinggi di SS Nazi Jerman pada masa itu. Karena itu ia kemudian menyarankan dilakukannya evaluasi ulang atas nilai-nilai yang dianut oleh militer. Jelaslah sebagaimana diamati Arendt, Eichmann bukanlah orang bodoh. Yang menjadi “penyakit” utamanya adalah ketidakberpikiran. Tidak berpikir berbeda sama sekali dengan bodoh. Orang bisa saja amat cerdas, namun tak menggunakan kecerdasannya itu secara maksimal untuk berpikir secara menyeluruh, berpikir secara sistemik (bukan sistematis).  Dan karena tak berpikir, ia seringkali tak sadar, bahwa tindakannya itu merupakan suatu kejahatan brutal. Maka salah satu hal mendasar yang dibutuhkan untuk menjadi penjahat brutal adalah ketidakberpikiran. “Ketercabutan dari realitas semacam itu dan ketidakberpikiran semacam itu”, demikian tulis Arendt, “dapat jauh lebih merusak dari semua insting jahat dijadikan satu, dan semua ini ada di dalam diri manusia”. Ketidakberpikiran adalah sisi gelap manusia yang menjadi sumber dari lahirnya kejahatan.

Diskriminasi Sistemik

Menelaah pembahasan diatas, merupakan hal yang sangat mengerikan bilamana ada sekelompok orang (ormas) dalam melakukan segala aksi dan kegiatannya, berdasarkan benih kebencian, radikalisme serta menganggap bahwa apa yang dilakukannya tersebut merupakan hal yang sah-sah saja, wajar dan memang harus terjadi. Menjadi hal yang sungguh memprihatinkan tatkala yang mengambil bagian dalam proses tersebut adalah anak-anak dan orang-orang muda. Kejahatan atas kemanusiaan tidak harus berbentuk pencabutan atas nyawa, namun tindakan-tindakan yang main hakim sendiri, hujatan dan ujaran kebencian, persekusi dan teror terhadap manusia lain, adalah cukup untuk menjadikan manusia yang melakukan tersebut dikatakan jahat. Seperti analisa Arendt, orang-orang dalam ormas garis keras ini bukanlah orang-orang bodoh. Namun mereka mengalami ketidakberpikiran dan distorsi persepsi. Ketidakberpikiran adalah ketidakmampuan untuk melihat dan membayangkan perasaan orang lain. Kegagalan untuk berempati dan bersimpati. Ketidakberpikiran ini menutup dan mengubur imajinasi. Sedangkan distorsi persepsi adalah kegagalan untuk melihat orang lain sebagai sesama manusia, yang memiliki hak-hak asasi yang sama. Anggota-anggota ormas garis keras ini melihat orang lain bukan sebagai manusia, namun hanya benda, bahkan musuh yang harus dihancurkan. Kedua hal tersebut, ketidakberpikiran dan distorsi persepsi, menjadi bangunan penyakit sosial kita yaitu diskriminasi sistemik. Diskriminasi sistemik adalah tindakan meniadakan atau mengecilkan peran seseorang di masyarakat, karena latar belakang suku, agama, rasa, ataupun golongannya di masyarakat. Misalnya etnis minoritas yang tidak akan pernah menjabat sebagai presiden, sulitnya kelompok minoritas memasuki perguruan tinggi negeri, sulitnya penganut agama minoritas mendirikan rumah ibadah, dan berbagai diskriminasi lainnya. Disebut bersifat sistemik karena kejahatan ini telah begitu mengakar pada budaya maupun sistem birokrasi di Indonesia, sehingga tidak lagi dilihat sebagai suatu tindakan jahat, namun sebagai tindakan yang sewajarnya dilakukan (banal).

Bilamana kebencian dan banalitas sudah bersatu, mau dibawa kemana kehidupan kita?

Daftar rujukan

  1. Conboy, Ken. “Medan Tempur Kedua” (Kisah Panjang yang Berujung Pada Peristiwa Bom Bali II). 2008. Pustaka Primatama Jakarta. Diterjemahkan dari “The Second Front : Inside Asia’s Most Dangerous Teroris Network” edisi tahun 2006.
  2. http://www.nu.or.id/post/read/69585/akar-sejarah-dan-pola-gerakan-radikalisme-di-indonesia
  3. http://www.beritasatu.com/nasional/411849-fpi-dan-hti-dianggap-sebagai-ormas-garis-keras.html#
  4. Wattimena, Reza A.A, https://rumahfilsafat.com/2011/12/26/hannah-arendt-banalitas-kejahatan-dan-situasi-indonesia/